Scroll untuk baca artikel
Kultural

Mengenal Rabu Wekasan: Mitos atau Fakta?

×

Mengenal Rabu Wekasan: Mitos atau Fakta?

Sebarkan artikel ini
Mengenal Rabu Wekasan: Mitos atau Fakta?
Mengenal Rabu Wekasan. Foto: Ilustrasi/Pixabay

Suarapena.com, BEKASI – Rabu Wekasan adalah istilah yang merujuk pada hari Rabu terakhir di bulan Safar dalam kalender Islam. Tradisi ini berkembang di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, dan Madura, yang percaya bahwa hari tersebut merupakan hari yang penuh dengan kesialan dan bencana. Oleh karena itu, mereka melakukan berbagai ritual untuk menolak bala dan memohon perlindungan kepada Allah SWT.

Namun, apakah tradisi Rabu Wekasan ini memiliki dasar yang kuat dalam Islam? Apa pandangan para ulama tentang amalan-amalan yang dilakukan di hari tersebut? Apakah Rabu Wekasan adalah mitos atau fakta?

Advertisement
Scroll ke bawah untuk lihat konten

Sejarah Rabu Wekasan

Menurut beberapa sumber, tradisi Rabu Wekasan berasal dari pengaruh kepercayaan Yahudi dan Hindu yang ada sebelum Islam masuk ke Indonesia. Orang-orang Yahudi meyakini bahwa bulan Safar adalah bulan yang buruk dan membawa malapetaka. Orang-orang Hindu juga menganggap bulan Safar sebagai bulan yang tidak baik untuk melakukan pernikahan atau perjalanan.

Selain itu, ada pula sejarah yang menyebutkan bahwa tradisi Rabu Wekasan berkaitan dengan rencana penjajahan Belanda di Jawa pada tahun 1602 Masehi, yang bertepatan dengan bulan Safar. Masyarakat Jawa saat itu melakukan berbagai upaya untuk menolak kedatangan penjajah, seperti berdoa, bersedekah, dan mengadakan selamatan.

Tradisi Rabu Wekasan juga dikaitkan dengan peristiwa sakitnya Nabi Muhammad SAW pada hari Rabu terakhir di bulan Safar tahun 11 Hijriah. Nabi Muhammad SAW sakit selama 12 hari berturut-turut hingga wafat pada tanggal 12 Rabiul Awal. Sebagian orang meyakini bahwa Allah SWT menurunkan ratusan ribu jenis musibah dan kesialan pada hari tersebut.

Berita Terkait:  Toleransi Beragama, Sebuah Kebijakan Hidup dalam Islam

Amalan Rabu Wekasan

Masyarakat Jawa, Sunda, dan Madura memiliki berbagai amalan yang dilakukan di hari Rabu Wekasan, seperti:

  • Shalat sunnah empat rakaat dua kali salam, dengan membaca surat Al-Kautsar 17 kali pada rakaat pertama, surat Al-Ikhlas lima kali pada rakaat kedua, surat Al-Falaq satu kali pada rakaat ketiga, dan surat An-Nas satu kali pada rakaat keempat.
  • Membaca doa khusus yang berisi permohonan perlindungan kepada Allah SWT dari segala kejahatan makhluk-Nya.
  • Membaca doa tolak bala yang berisi permohonan agar Allah SWT menjauhkan dari segala musibah dan kesialan.
  • Bersedekah kepada orang-orang miskin atau fakir.
  • Mengadakan selamatan dengan menyediakan makanan khas seperti lemper (ketupat berisi ayam), bubur sumsum (bubur tepung beras putih), dan kolak pisang (pisang rebus dengan gula merah).
  • Mengadakan tahlilan atau dzikiran bersama untuk mendoakan Nabi Muhammad SAW dan para leluhur.

Pandangan Ulama tentang Rabu Wekasan

Para ulama memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang tradisi Rabu Wekasan. Sebagian ulama menganggap bahwa tradisi ini tidak ada dasarnya dalam Islam, karena tidak ada dalil khusus yang menyebutkan tentang hari Rabu terakhir di bulan Safar. Mereka juga menolak adanya keyakinan bahwa ada hari atau bulan yang sial atau membawa keberuntungan.

Berita Terkait:  Sejarah Kelahiran Nabi Muhammad SAW: Dari Tahun Gajah Hingga Khatamul Anbiya

Hal ini sesuai dengan hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim, yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya malapetaka di bulan Safar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati itu rohnya menjadi burung yang terbang.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits ini, Nabi Muhammad SAW membantah anggapan orang-orang jahiliyah yang meyakini hal-hal tersebut. Nabi Muhammad SAW juga mengajarkan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah karena kehendak Allah SWT, bukan karena faktor waktu atau tempat.

Sebagian ulama lainnya menganggap bahwa tradisi Rabu Wekasan tidak salah selama dilakukan dengan niat yang baik dan tidak menyelisihi syariat Islam. Mereka berpendapat bahwa amalan-amalan yang dilakukan di hari tersebut adalah amalan sunnah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT dan memperoleh pahala.

Hal ini sesuai dengan hadits shahih riwayat Imam Muslim, yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah kami tentang hal itu, maka ia tertolak.” (HR Muslim)

Dalam hadits ini, Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa amalan yang diterima oleh Allah SWT adalah amalan yang sesuai dengan perintah dan tuntunan-Nya. Oleh karena itu, amalan Rabu Wekasan harus dilakukan dengan niat salat sunnah mutlak atau salat hajat, bukan niat khusus salat Rabu Wekasan.

Berita Terkait:  Maulid Nabi bersama Habib Luthfi dan GIBAS Kota Bekasi, Ribuan Umat Islam Bersatu Padu

Kesimpulan

Rabu Wekasan adalah tradisi yang berkembang di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, dan Madura, yang dilakukan pada hari Rabu terakhir di bulan Safar. Tradisi ini berasal dari pengaruh kepercayaan Yahudi dan Hindu, sejarah penjajahan Belanda, dan peristiwa sakitnya Nabi Muhammad SAW.

Tradisi Rabu Wekasan memiliki berbagai amalan yang dilakukan untuk menolak bala dan memohon perlindungan kepada Allah SWT, seperti shalat sunnah, baca doa, bersedekah, selamatan, dan tahlilan. Namun, tradisi ini tidak memiliki dasar yang kuat dalam Islam, karena tidak ada dalil khusus yang menyebutkan tentang hari Rabu terakhir di bulan Safar.

Para ulama memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang tradisi Rabu Wekasan. Sebagian ulama menganggap bahwa tradisi ini tidak ada dalam Islam dan menolak adanya keyakinan bahwa ada hari atau bulan yang sial atau membawa keberuntungan. Sebagian ulama lainnya menganggap bahwa tradisi ini tidak salah selama dilakukan dengan niat yang baik dan tidak menyelisihi syariat Islam.

Oleh karena itu, tradisi Rabu Wekasan dapat dikatakan sebagai mitos yang tidak memiliki landasan ilmiah maupun agamis. Namun, tradisi ini juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan memperbanyak amal shaleh, asalkan dilakukan dengan niat yang benar dan sesuai dengan tuntunan Islam. (*)