Oleh Imam Trikarsohadi,
Jurnalis, Pemerhati Politik dan Administrasi Negara
DEMOKRASI dengan perilaku politik di dalamnya, termasuk Pilkada, Pileg dan Pilpres, apa boleh buat, dalam perkembangannya saat ini telah menjadi industri kekuasaan. Karena sudah jadi industri, maka tentu ada produksi didalamnya.
Sebagai sebuah produksi, maka perilaku politik di Indonesia, mensyaratkan setidaknya empat hal: modal, mesin politik, manusia dan metode. Agar “barang” politik itu laku dijual, diperlukan juga aneka macam jenis iklan dan publikasi (pencitraan).
Ada yang menggunakan cara evolusi yang menempuh tahap demi tahap, waktu demi waktu, dan upaya demi upaya agar dikenal warga dan disukai. Ada pula yang menggunakan cara-cara instans; seperti mencari pasangan yang sudah popular (kalangan artis misalnya), ada pula yang menggunakan pola populerisasi—dalam waku yang singat—membangun pencitraan pencitraan diri agar mampu menaruh simpati publik. Cara instan inilah yang belakangan hari banyak digunakan, sehingga menyedot biaya, capital, dan modal.
Ambil contoh dari Pilkada serentak 2017 yang baru saja bergulir, maka dapat kita tabulasi bahwa mayoritas paslon kepala daerah mennggunakan pola populerisasi dan/ atau menggandeng pasangan dengan asumsi dasar sudah populer, meski tak paham politik.