Suarapena.com, JAKARTA – Teh, minuman yang telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, kini tak hanya sekedar minuman biasa. Dari Solo hingga Tegal, dari Yogyakarta hingga Betawi, setiap tegukan teh mengisahkan perjalanan budaya yang kaya dan beragam.
“Teh Solo”, sebuah tren yang telah menggema di seluruh penjuru negeri, bukan hanya sekedar oleh-oleh, melainkan simbol dari tradisi yang telah lama terjalin.
Kisah ini bermula dari tanah Jawa, dimana teh tidak hanya tumbuh subur, tetapi juga menjadi saksi bisu atas perubahan zaman. Dari masa kolonial Belanda yang membawa bibit Camellia Sinensis hingga ke kebun percobaan di Cisurupan, hingga menjadi tanaman wajib yang ditanam oleh rakyat.
Teh telah menyatu dengan napas bangsa, menembus batasan umur dan kelas sosial, menjadi minuman yang merakyat.
Di keraton-keraton Jawa, teh disajikan dengan penuh adab, sebuah tradisi yang kini telah menyebar ke angkringan-angkringan dan kedai-kedai di Solo.
Di Yogyakarta, upacara Patehan masih terjaga, menjamu tamu dengan kehangatan yang sama seperti di masa lalu.
Di Tegal, tradisi teh poci menciptakan cita rasa unik yang memanjakan lidah. Dan di Betawi, tradisi Nyahi mengajarkan kita untuk menikmati kesederhanaan teh tawar dengan gula kelapa.
Teh telah menjadi lebih dari sekedar minuman, ia adalah warisan, kearifan lokal, dan cermin dari keragaman Indonesia.
Setiap cangkir teh yang kita nikmati adalah undangan untuk merenung dan menghargai kekayaan budaya yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Mari kita lestarikan dan nikmati setiap sorotan kearifan dalam secangkir teh Nusantara. (sp/prk)