Scroll untuk baca artikel
Suara Aceh

Kisah Dua Mahasiswa Indonesia Tidak Bisa Kembali ke Tanah Air Akibat Peristiwa 1965

×

Kisah Dua Mahasiswa Indonesia Tidak Bisa Kembali ke Tanah Air Akibat Peristiwa 1965

Sebarkan artikel ini
Potret dua mahasiswa Indonesia saat berbagi kisah dengan Presiden Jokowi ketika peristiwa 1965. Paspor dicabut, bahkan sampai hilang kewarganegaraannya.
Potret dua mahasiswa Indonesia saat berbagi kisah dengan Presiden Jokowi ketika peristiwa 1965. Paspor dicabut, bahkan sampai hilang kewarganegaraannya.

Suarapena.com, ACEH – Peristiwa pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia mengisahkan sejumlah kisah bagi beberapa pihak yang terdampak, di antaranya Suryo Hartono dan Sudaryanto Priyono.

Mereka merupakan mahasiswa asal Indonesia di Ceko dan Rusia yang tidak bisa kembali pulang ke Indonesia saat peristiwa tahun 1965 silam.

Advertisement
Scroll ke bawah untuk lihat konten

“(Saya) tidak bisa kembali (ke Indonesia) karena saya dicabut paspor,” ucap Suryo Martono saat berbincang dengan Presiden Joko Widodo dalam acara peluncuran program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian nonyudisial pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Rumoh Geudong, Pidie, Aceh, Selasa (27/6/2023).

Pada tahun 1965 diceritakan Suryo, dirinya tengah menjalani pendidikan di salah satu universitas di Ceko melalui beasiswa yang diberikan oleh Kementerian Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP).

Berita Terkait:  Pemulihan Hak Korban Pelanggaran HAM Berat Dimulai dari Aceh, Presiden: Ini Langkah Awal Pulihkan Luka Bangsa

Setelah sekian lama berjalan, pada 30 September 1965 ia mendengar dan mendapat informasi bahwa ada terjadi peristiwa di tanah air yang mengakibatkan dicabutnya paspor yang dimilikinya bersama sejumlah mahasiswa Indonesia yang berada di sana.

“Saya dan 16 teman-teman di PPI Ceko waktu itu dicabut semua (paspornya) karena tidak mau, kita tidak mau menandatangani persetujuan atas terbentuknya pemerintahan yang baru,” aku Suryo.

Sementara, Sudaryanto Priyono mengaku akibat dari peristiwa pada tahun 1965, dirinya yang pada saat itu tengah menjalani pendidikan di salah satu universitas di Moskow, Rusia kehilangan kewarganegaraannya sebagai warga negara Indonesia.

Berita Terkait:  Pemulihan Hak Korban Pelanggaran HAM Berat Dimulai dari Aceh, Presiden: Ini Langkah Awal Pulihkan Luka Bangsa

“Ya, karena saya tidak memenuhi syarat skrining terhadap itu dilakukan di mana, di sana ada poin bahwa harus mengutuk Bung Karno, ini yang langsung tidak saya terima, dan akhirnya dalam seminggu sesudahnya saya menerima surat pemberitahuan bahwa paspor saya sudah dicabut dan saya kehilangan kewarganegaraan,” tutur Sudaryanto yang juga berbincang bersama Presiden.

Saat disinggung soal kegiatan ini, mereka berdua mengapresiasi program yang diluncurkan oleh pemerintah dalam pelaksanaan rekomendasi penyelesaian nonyudisial pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.

Mereka menilai hal ini menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap para korban. Dan langkah yang diambil pemerintah juga merupakan langkah yang penuh keberanian dan menunjukan kebijaksanaan yang penuh dengan tanggung jawab.

Berita Terkait:  Pemulihan Hak Korban Pelanggaran HAM Berat Dimulai dari Aceh, Presiden: Ini Langkah Awal Pulihkan Luka Bangsa

“Jadi ini walaupun mungkin tidak memuaskan semua pihak tapi buat saya pribadi ini merupakan langkah yang berarti untuk memberikan ketentuan bahwa ini diurusi dengan sangat serius dan tanpa pamrih. Agar generasi muda dan yang akan datang tidak mengalami nasib-nasib yang kita alami, bukan seperti kita tapi seperti 12 kasus HAM berat yang telah terjadi,” ucap Suryo.

“Kami juga tidak menyangka bahwa pemerintah masih peduli dengan kami yang ada di luar, dan ini menunjukkan kebijaksanaan Pak Joko Widodo yang cukup tinggi, kebijaksanan yang penuh tanggung jawab,” tambah Sudaryanto. (Sp/Skb)

Eksplorasi konten lain dari Suarapena.com | Suara Pena Mata Hati Bangsa

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca