Suarapena.com, BEKASI – Rencana penerapan parkir berbayar di kawasan Ruko Grand Galaxy City (GGC), Kota Bekasi, menuai penolakan keras dari para pemilik ruko. Mereka menilai kebijakan tersebut tidak adil, tidak memiliki dasar hukum, dan bisa memperparah kondisi usaha yang saat ini sudah sepi.
Ketua Paguyuban Ruko Grand Galaxy City, Daniel Batubara, menyatakan sikap tegas penolakan tersebut dalam konferensi pers yang digelar, Senin (3/11/2025).
“Kami menolak dengan keras parkir berbayar ini. Masa ruko kami beli, halamannya kami beli, tapi masih harus bayar parkir? Tidak wajar,” tegas Daniel di hadapan awak media.
Program uji coba parkir berbayar diumumkan oleh Property Office Management (POM) Grand Galaxy City melalui surat bernomor 184/POM-GGC/X/2025 tertanggal 14 Oktober 2025.
Pelaksanaannya disebut akan dikelola oleh Koperasi Korem (Primkop Wijayakarta), dengan alasan untuk meningkatkan ketertiban, keamanan, dan nilai investasi kawasan. Parkir berbayar dijadwalkan mulai berlaku pada Desember 2025. Namun, warga menilai alasan tersebut tidak berdasar.
“Kalau parkirnya dikelola Dishub atau Pemda, kami bisa setuju. Tapi kalau dikelola pihak swasta di luar pemerintah, kami tolak. Karena lahan ini milik kami, bukan milik pengembang lagi,” kata Daniel.
Menurut informasi yang diterima warga, tarif parkir bagi karyawan ditetapkan sebesar Rp30.000 per bulan untuk motor, sementara tarif mobil belum diumumkan secara resmi.
Selain soal parkir, warga juga keberatan dengan kenaikan Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL) yang dinilai memberatkan. Biaya IPL yang semula Rp500.000 kini melonjak menjadi Rp945.000 per bulan.
“Bandingkan saja dengan kawasan sekelas Summarecon yang IPL-nya Rp500.000. Di GGC malah hampir sejuta,” ujar Daniel.
Paguyuban yang mewakili sekitar 200 pemilik dari total 1.600 unit ruko itu telah menyampaikan penolakan resmi melalui surat bernomor 18/PWR-GGC/X/2025. Mereka menolak segala bentuk komersialisasi terhadap lahan fasilitas umum (PSU) di lingkungan ruko.
Warga juga menilai kebijakan parkir berbayar cacat prosedur karena belum ada serah terima lahan prasarana, sarana, dan utilitas umum (PSU) dari pihak pengembang ke Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi.
Daniel menyebut, dari 1.600 unit ruko yang ada, pihak pengembang kini hanya memiliki 9 unit, sisanya sudah menjadi milik warga.
“Artinya, sudah seharusnya PSU diserahkan ke Pemda. Jadi tidak boleh ada komersialisasi lahan yang sudah bukan milik pengembang,” tegasnya.
Selain itu, warga juga mempertanyakan pemasangan spanduk sosialisasi parkir berbayar yang mencantumkan logo Pemkot Bekasi dalam hal ini Dishub dan Korem.
Persoalan antara warga dan pengelola Grand Galaxy City ternyata bukan hal baru. Sejak tahun 2023, warga sudah beberapa kali mengadu ke DPRD Kota Bekasi terkait tingginya IPL dan belum diserahkannya PSU.
Namun, menurut Daniel, pengembang selalu mangkir saat dipanggil DPRD.
“Dari tiga kali panggilan DPRD, mereka tidak pernah hadir. Tidak ada transparansi. Data siapa yang bayar dan siapa yang tidak pun tidak pernah diberikan,” ungkapnya.
Warga juga menyoroti lemahnya respons pengelola terhadap kondisi lingkungan. Saat kawasan terendam banjir, misalnya, warga mengaku harus membersihkan sendiri tanpa bantuan cepat dari pihak POM.
Daniel menuturkan, pihaknya telah mengirim surat ke berbagai pihak, termasuk Wali Kota Bekasi Tri Adhianto. Namun hingga kini belum ada respons.
“Kami mohon kepada Pak Wali Kota dan Kang Dedy Mulyadi, tolong bantu kami warga Grand Galaxy City. Serahkan PSU ke Pemda agar hak kami terlindungi,” pintanya.
Jika tidak ada tindak lanjut, warga berencana melanjutkan perjuangan ke tingkat provinsi bahkan nasional.
“Kami akan terus berjuang sampai suara kami didengar, bahkan kalau perlu sampai Presiden,” tegas Daniel. (sp/pr)







