Suarapena.com, JAKARTA – Harris Turino, Ketua Kelompok Fraksi PDIP Komisi XI DPR RI, menyatakan bahwa kebijakan tarif resiprokal yang dikeluarkan Presiden AS Donald Trump lebih berfungsi sebagai alat negosiasi untuk menyeimbangkan defisit neraca perdagangan AS, bukan sebagai keputusan permanen.
“Kebijakan ini bersifat sementara dan ditujukan untuk merundingkan tarif yang lebih adil dengan mitra dagang, bukan untuk merugikan rakyat AS dalam jangka panjang,” ujar Harris dalam pernyataannya di Jakarta, Jumat (4/4/2025).
Ia mendesak pemerintah untuk memberikan penjelasan transparan kepada publik guna mencegah kepanikan di pasar uang dan pasar modal. Selain itu, Harris menekankan pentingnya perlindungan bagi perusahaan yang terdampak langsung oleh kebijakan ini, dengan memanfaatkan instrumen fiskal untuk menghindari kebangkrutan dan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
“Perusahaan tidak boleh dibiarkan berjuang sendiri. Instrumen fiskal harus digunakan untuk mencegah dampak berkepanjangan,” tegasnya.
Harris juga mendorong pemerintah, khususnya kementerian terkait, untuk segera mengambil langkah strategis. Ia menegaskan bahwa tarif 64% hanya berlaku untuk produk tertentu dari AS, bukan seluruh barang impor.
Dalam jangka pendek, pemerintah perlu menyusun data akurat sebagai dasar negosiasi dengan AS. “Negosiasi harus berbasis data, bukan asumsi,” katanya. Selain itu, dibutuhkan tim negosiator yang kompeten dan melibatkan asosiasi perusahaan terkait jika diperlukan.
Untuk jangka menengah dan panjang, diversifikasi pasar dinilai krusial. Harris menyarankan Indonesian Trade and Promotion Centre (ITPC) lebih aktif menjajaki peluang ekspor ke negara non-tradisional, seperti Amerika Selatan, Eropa Timur, dan Afrika.
“Ketergantungan Indonesia pada pasar AS yang mencapai 10% harus dikurangi agar ekspor lebih stabil,” ujarnya.
Meski kebijakan Trump berpotensi memengaruhi surplus neraca perdagangan Indonesia sebesar US$18 miliar per tahun, Harris menyarankan agar tidak terburu-buru mengambil kesimpulan sebelum detail tarif untuk setiap komoditas jelas.
Di tengah tantangan ini, ia menekankan pentingnya kebijakan yang tepat untuk mengambil peluang, bukan memperburuk situasi dengan pernyataan yang tidak produktif.
“Di balik gejolak ini selalu ada peluang. Indonesia harus bijak memanfaatkannya, bukan malah dirusak oleh pernyataan pejabat yang tidak tepat,” pungkasnya. (gud)