Scroll untuk baca artikel
HeadlineNews

Kata Pakar Putusan MK Hapus Presidential Threshold Harus Jadi Pedoman Revisi UU Pemilu

×

Kata Pakar Putusan MK Hapus Presidential Threshold Harus Jadi Pedoman Revisi UU Pemilu

Sebarkan artikel ini
Titi Anggraini Pakar Kepemiluan dari Universitas Indonesia (tengah) yang menyebut putusan MK hapus presidential threshold harus dijadikan pedoman pembentuk undang-undang dalam merevisi UU Pemilu.

Suarapena.com, JAKARTA – Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menegaskan bahwa keputusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang menghapus ambang batas minimal atau presidential threshold untuk pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden harus dijadikan pedoman bagi pembentuk Undang-Undang (UU) dalam merevisi UU Pemilu.

Pembentuk UU dalam hal ini DPR, Pemerintah dan seluruh pihak terkait harus menindaklanjuti pedoman yang diminta MK. Adapun Revisi UU Pemilu diketahui telah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2025 di DPR RI.

Advertisement
Scroll ke bawah untuk lihat konten

“Putusan MK ini sebagaimana kita ketahui ialah final dan mengikat, oleh karena itu pembentuk UU harus menindaklanjuti pedoman MK,” kata Titi dalam diskusi di sejumlah media massa, Jumat (3/1/2025).

Sebelumnya, Wakil Ketua MK, Saldi Isra, saat membacakan pertimbangan Mahkamah mengatakan pedoman untuk melakukan rekayasa konstitusional atau constitutional engineering dapat dipertimbangkan oleh pembentuk undang-undang dalam merevisi UU Pemilu agar jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak membludak.

Berita Terkait:  Mahfud MD Sambut Positif Putusan MK Hapus Presidential Threshold

“Jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden yang terlalu banyak belum menjamin berdampak positif bagi perkembangan dan keberlangsungan proses dan praktik demokrasi presidensial Indonesia. Oleh karena itu, pembentuk undang-undang, dalam revisi UU Nomor 7 Tahun 2017, dapat melakukan rekayasa konstitusional dengan memperhatikan hal-hal berikut,” kata Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

Adapun lima pedoman Mahkamah bagi pembentuk undang-undang dalam melakukan rekayasa konstitusional atau constitutional engineering tersebut adalah:

  1. Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
  2. Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

  3. Dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.

  4. Partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.

  5. Perumusan rekayasa konstitusional dimaksud, termasuk perubahan UU Pemilu, melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaraan pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

Menanggapi hal tersebut, Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, memastikan pihaknya akan segera menindaklanjuti putusan ini.

Ia menyebut Komisi II DPR akan mengintegrasikan putusan MK ke dalam pembentukan norma baru yang akan mengatur mekanisme pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

“Putusan Mahkamah Konstitusi adalah final dan mengikat, kami menghormatinya dan berkewajiban menindaklanjutinya,” ujar Rifqi di Jakarta, Kamis (2/1/2025).

Sebagaimana diketahui, keputusan MK melalui Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 ini menghapus Pasal 222 UU Pemilu, yang selama ini menetapkan presidential threshold sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional sebagai syarat pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden.

Putusan ini menandai perubahan besar dalam sistem demokrasi Indonesia, memberikan kesempatan lebih luas bagi partai politik untuk berpartisipasi dalam pencalonan presiden tanpa adanya hambatan batasan suara yang selama ini dipandang problematik.

Adapun dalam catatan, ketentuan presidential threshold ini telah diuji materi lebih dari 30 kali dalam satu dekade terakhir, namun selalu ditolak meskipun terdapat perbedaan pandangan di antara hakim MK. Dalam putusan kali ini, MK menilai bahwa aturan tersebut bertentangan dengan hak politik warga negara dan tidak relevan lagi dengan kondisi demokrasi Indonesia saat ini. (r5/bo)

Eksplorasi konten lain dari Suarapena.com | Suara Pena Mata Hati Bangsa

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca