Oleh Yusuf Blegur
Penulis, Pekerja Sosial dan Pendiri Yayasan Human Berdikari
SAAT rezim Jokowi yang identik dengan sikap permusuhan juga kebencian terhadap pemimpin dan umat Islam. Tidak beberapa lama setelah membuat dikotomi antara Panca Sila dan Al Quran dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pada seleksi pengangkatan ASN di lingkungan KPK. Seketika Menteri Agama RI pada 3 Juni 2021, mengumumkan adanya penolakan pemberangkatan haji Indonesia tahun 2021. Terlepas beragamnya penilaian publik yang berkembang terhadap keputusan pemerintah Saudi Arabia yang menolak jamaah haji asal Indonesia. Ini merupakan bukan saja kegagalan diplomasi pemerintah RI terhadap Saudi Arabia. Melainkan lebih dari itu merupakan tamparan keras yang menjatuhkan harga diri dan martabat negara bangsa Indonesia.
Mengerikan sekali!. Negara dengan mayoritas umat muslim terbesar di dunia. Tidak dapat memberangkatkan jamaah hajinya, apapun alasannya. Sungguh memalukan sekali, mengingat Indonesia di era Soekarno dan para pemimpin Islam lainnya memilik hubungan yang erat dan memiliki benang merah yang kuat dalam soal-soal kebangsaan dan Islam dengan negara Arab Saudi.
Entahlah, beberapa asumsi dan rumor berkembang di ranah publik. Ada yang menganggap uang jamaah haji dipakai untuk membayar hutang dan membiayai infrastruktur. Ada juga yang mengatakan bahwa, ini reaksi pemerintah Arab Saudi terhadap pemerintah Indonesia yang seringkali menghina bangsa arab dengan istilah “Kadrun”, teroris, dan juga rezim kekuasaan Jokowi yang sering mengobarkan sikap permusuhan dan kebencian terhadap umat Islam khususnya para ulama dan habaib. Bahkan ada yang mengatakan lain, bahwa ini bukti pemerintahan Jokowi masih dibawah standar dalam penguasaan geopolitis dan geostrategis, dengan mengaitkan sikap tidak suka Arab Saudi yang poros Amerika terhadap Indonesia yang poros China.
Apapun motifnya, ini sunguh menyakitkan umat Islam terutama bagi calon jamaah haji yang gagal berangkat tahun ini. Sebuah kegagalan dalam dimensi keagamaan yang penting dan mengandung aqidah. Lagi, setelah pembunuhan 6 laskar FPI dan pemenjaraan ulama dan habaib. Menjadi rangkaian panjang dan banyaknya kedzaliman rezim Jokowi terhadap umat Islam.
Rezim Durhaka
Untuk pertama kalinya, pemerintah membangun narasi yang membuat Panca Sila berhadap-hadapan dengan Al Quran. Entah apa yang merasuki pikirannya, rezim kekuasaan terus menerus memaksakan sekulerisme dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat religius. Kali ini, terlanjur membuat premis dan mendorong adanya pertentangan Panca Sila dan Al Quran. Sebuah pola pikir dan tindakan yang konyol. Cacat sejarah dan dapat disebut sebagai penghianatan terhadap konsensus nasional kebangsaan melalui Panca Sila yang diyakini sejalan dan mengandung syariat Islam yang kuat. Lucunya, kontroversi itu dimunculkan saat bangsa Indonesia merayakan kelahiran Panca Sila dan memasuki bulan yang diklaim oleh PDIP sebagai bulan Bung karno. Bung Karno sebagai salah satu pendiri bangsa dan proklamator Kemerdekaan yang mati-matian membangun harmoni dan keselarasan kehidupan kenegaraan dan keagamaan melalui Pancasila. Nilai-nilai Nasionalisme yang tidak bertentangan dengan Islam.
Belum lagi soal Trisakti Bung Karno yang pada pemerintahan Jokowi, bukan saja tidak dilaksanakan, namun yang terjadi justru bertolak belakang. Tidak ada kedaulatan politik, tidak ada kemandirian dalam ekonomi dan tidak berkepribadian dalam kebudayaan. Warna politik, ekonomi dan budaya Indonesia sekarang ini lebih didominasi oleh kepentingan asing dan aseng. Bahkan NKRI terancam eksistensi dan keberlangsungannya.
Harusnya menjadi pukulan telak dan ada rasa malu jika masih punya, untuk pemerintah yang dipimpin oleh presiden yang notabene menjadi pesuruh partai. Anggota sekaligus kader PDIP, sebuah partai politik dengan trademark atau menjual nama Bung Karno untuk keberlangsungan partainya. PDIP idealnya harus menjadi benteng yang kokoh dan corong yang corong yang keras meneriakan nasionalisme yang religius berazaskan marhaenisme, bukan nasionalisme sekuler yang ditopang liberalisasi dan kapitalisasi.
Meski Indonesia menjadi negara sekuler ditengah mayoritas rakyatnya yang menganut agama Islam. Pemerintahan Jokowi seringkali membuat kebijakan yang cenderung membuat intimidasi sekaligus menjadi resistensi dikalangan umat Islam. Mulai dari Perppu No. 2/2017 tentang Ormas yang dianggap politis membubarkan ormas Islam. Kemudian Omnibus Law atau UU. No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dianggap memberikan keleluasaan investor asing dan membatasi hak buruh. Ada juga RUU HIP yang kemudian mendapat penolakan keras dari rakyat. Hingga peraturan tata cara penyampaian ceramah keagaamaan yang dikeluarkan kementerian agama.
Beberapa UU yang pada pelaksaannya membatasi ruang gerak sekaligus memangkas aspirasi dan kepentingan umat Islam. Menjadi beresiko terus memelihara jarak dan berpotensi menimbulkan konflik yang berimplikasi pada stabilitas nasional dan pertaruhan bangsa.
Oleh karena itu, segeralah melakukan refleksi dan intropeksi sebelum larut dan lebih jauh menimbulkan kerusakan pada tatanan kehidupan negara bangsa.
Jokowi sudah “over load” menanggung beban rakyat dan negara. Sebagai seorang pemimpin, ia juga telah kehilangan kesadaran baik sebagai presiden maupun sebagai bagian dari rakyat. Pemerintahan Jokowi tak memiliki kendali atas negaranya sendiri. Lingkaran istana dan orang dalam justru menggerogoti negara dengan korupsi dan perampokan uang rakyat yang eksploitatif.
Jadi, sebaiknya kalau tidak mampu jangan dipaksakan. Berhenti dan serahkan pada yang berhak. Demi kebaikan negara dan rakyat, menuju ke jalan lurus dan mengembalikan mandat rakyat. Demi menyelamatkan masa depan NKRI.
Mirip lirik lagu D’Masiv, “Jangan sampai cinta kekuasan ini membunuhmu dan bangsamu, Mr. President!”. (*)