Suarapena.com, JAKARTA – Rencana Presiden Prabowo Subianto membentuk dan melantik Komite Reformasi Polri pekan ini menuai beragam respons, salah satunya datang dari Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira. Legislator Fraksi PDI Perjuangan ini menyambut baik langkah tersebut, namun sekaligus mewanti-wanti agar reformasi kepolisian tidak berhenti sebagai proyek kosmetik politik.
Menurut Andreas, reformasi Polri sejatinya bukan hanya soal penataan ulang struktur birokrasi, melainkan menyentuh hal paling mendasar: budaya kekerasan, praktik penyidikan yang dominan dan tidak adil, serta absennya sistem pengawasan yang kuat dan transparan.
“Reformasi Polri harus menyentuh akar persoalan, bukan hanya tampilan luar. Ini menyangkut nyawa warga, terutama kelompok rentan. Kita bicara soal HAM, akuntabilitas, dan kepercayaan publik,” tegas Andreas dalam keterangannya, Selasa (7/10/2025).
Prabowo dijadwalkan mengumumkan dan melantik 9 anggota Komite Reformasi Polri minggu ini. Salah satu nama yang disebut sudah menyatakan kesediaan bergabung adalah mantan Menko Polhukam Mahfud MD. Beberapa nama lainnya disebut berasal dari kalangan mantan Kapolri, meski belum diungkap secara resmi.
Namun Andreas mengingatkan potensi tumpang tindih dan bias dengan adanya Tim Transformasi Reformasi Polri internal, yang berisi 52 perwira aktif.
“Ada risiko dualisme pengawasan. Kalau perwira aktif mengawasi lembaganya sendiri, potensi konflik kepentingan tak bisa dihindari. Ini bisa melumpuhkan semangat reformasi itu sendiri,” jelasnya.
Andreas pun menekankan, bahwa tanpa transparansi dan akuntabilitas publik, reformasi Polri hanya akan menjadi formalitas semata.
“Publik berhak tahu bagaimana Polri bekerja, siapa yang diawasi, dan bagaimana penindakan dilakukan terhadap pelanggaran. Ini soal keadilan dan kepercayaan,” tegas politisi dari Dapil NTT I itu.
Ia juga menyuarakan pentingnya memisahkan Polri dari kepentingan politik dan militeristik.
“Polri harus berdiri di atas profesionalisme. Bukan alat kekuasaan. Kalau tidak, sulit berharap pada pelayanan publik yang adil dan humanis,” ujarnya.
Terakhir, Andreas menyatakan bahwa keberhasilan reformasi Polri hanya bisa diukur dari tiga hal: perlindungan hak asasi manusia, kepastian hukum, dan kepercayaan rakyat. Bukan dari laporan-laporan manis atau pencitraan belaka. (r5/rdn)







