Suarapena.com, BANDUNG – Museum Sri Baduga, yang berdiri megah di Jalan BKR Nomor 185, Bandung, memiliki sejarah panjang yang dimulai pada tahun 1974 atas gagasan Gubernur Jawa Barat saat itu, Aang Kunaefi.
Setelah melalui berbagai dinamika, museum ini diresmikan pada tanggal 5 Juni 1980 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Daoed Joesoef, dengan nama Museum Negeri Provinisi Jawa Barat.
Pada tahun 1990, museum ini berganti nama menjadi Museum Sri Baduga, diambil dari nama Raja Agung Kerajaan Sunda, Prabu Siliwangi III, yang bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji. Raja ini memerintah Pakwan Pajajaran dari tahun 1482 hingga 1521 Masehi.
Museum ini dulunya merupakan kantor Kawedanan Tegallega yang mengurus administrasi Kota Bandung. Dengan luas tanah 8.030 meter persegi, bangunan museum ini menggabungkan arsitektur tradisional Jawa Barat, yaitu rumah panggung beratap suhunan panjang, dengan gaya arsitektur modern.
Sejak tahun 2002, Museum Sri Baduga dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Barat. Tugas utamanya adalah mengumpulkan, merawat, meneliti, dan menyajikan benda-benda peninggalan Sejarah alam dan budaya Jawa Barat serta memberikan bimbingan edukatif kultural.
Museum ini memiliki koleksi yang mencakup berbagai artefak, lukisan, dan benda-benda bersejarah yang mencerminkan kekayaan budaya dan sejarah Sunda.
Di antara koleksi uniknya adalah pakaian tradisional sunda, alat musik tradisional, senjata kuno, kerajinan tangan, ukiran kayu, dan lukisan-lukisan berharga.
Hingga tahun 2017, museum ini telah mengumpulkan 6.979 koleksi yang dikelompokan ke dalam sepuluh klasifikasi, termasuk geologika, biologika, etnografika, arkeologika, historika, numismatika, filologika, seni rupa, keramologika, dan teknologika.
Penamaan Museum Sri Baduga ini ditetapkan melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 02223/0/1990 pada tanggal 4 April 1990. (sp/yan)