Scroll untuk baca artikel
Pena Kita

Pidato ‘Bipang’ Jokowi Lambang Keblinger Sekretariat Negara

×

Pidato ‘Bipang’ Jokowi Lambang Keblinger Sekretariat Negara

Sebarkan artikel ini
yusuf blegur

Oleh Yusuf Blegur
Pekerja Sosial, Pemikir Rakyat Jelata

PERNAH suatu ketika,  Jokowi diprotes warga  saat pidato, presiden ke-7 RI itu, salah  menyebutkan alamat tempat acara berlangsung. Menariknya, kesalahan ucap lokasi  Desa Gamplong Kecamatan Moyudan Kabupaten Sleman Jawa Tengah itu, oleh presiden langsung diklarifikasi bahwasanya ia hanya mengikuti apa yang tertuang di teks. Jokowi saat itu juga langsung menegaskan kesalahan ada di Menteri Sekretaris Negara.

Advertisement
Scroll ke bawah untuk lihat konten

Sebelumnya, ada beberapa kesalahan ucap  dan kesalahan  penulisan teks naskah pidato  presiden yang terjadi baik dalam forum domestik maupun internasional. Kejadian itu tak ayal langsung mendapat reaksi keras dari publik. Sebut saja dalam acara Ulang Tahun Konferensi Asia Afrika  ke-60. Jokowi berpidato dari naskah yang datanya tidak akurat. Tidak tanggung-tanggung protes langsung disampaikan SBY Presiden RI ke-6 soal hutang Indonesia pada IMF ke Jokowi.

Seterusnya publik melihat langsung kesalahan ucapan  dalam beberapa pidato dan surat yang diteken Jokowi. Diantaranya mulai dari salah menyebut kelahiran Bung Karno di Blitar dalam pidato peringatan hari Panca Sila. Kemudian  ada kekeliruan penandatangan perpres kenaikan nilai uang muka pembelian kendaraan pejabat negara. Hingga kesalahan penulisan kepanjangan BIN berupa Badan Inteligen Nasional saat penandatanganan  perpres pengangkatan kepala BIN dan Panglima TNI.

Kini, ditengah umat Islam menjalankan ibadah puasa dan menjelang perayaan Idul Fitri 1442 H. Jokowi kembali menuai polemik terkait ucapannya saat menyampaikan pidato kuliner yang mengajak masyarakat berbelanja makanan tradisional secara online ditengah larangan mudik. Salah satunya, Jokowi menyebut kuliner Bipang  dari Kalimantan yang dikonotasikan publik  sebagai makanan Babi panggang. Pidato ini seketika viral dan menjadi trending topik. Lagi-lagi Jokowi tersandung salah ucap dalam pidatonya?.

Berita Terkait:  Jasa Marga Jelaskan Video Viral Penyekatan Cikarang Barat
Komunikasi Publik dan Lemahnya Birokrasi

Perdebatan soal kuliner Bipang yang menarik perhatian publik, memicu 3 hal penting mengemuka terkait hal itu.

Pertama, ada baiknya  kita sedikit meninjau kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pada narasi Kuliner Bipang yang menjadi bagian pidato Jokowi terdengar tidak ada masalah yang perlu diperdebatkan jika dilihat secara normatif. Berdasarkan aturan  penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar kita dapat mengacu pada apa yang dituangkan dalam Perpres No: 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. lebih spesifik diatur dalam  Bab II, Bagian 1, pasal 2, tentang “Ketentuan Penggunaan Bahasa Indonesia harus memenuhi kriteria  yang baik dan benar”. 

Seperti apa yang diungkapkan oleh Dr. Felicia  N Utorodewo (Praktisi pendidikan dan pelatihan Bahasa Indonesia), bahwa pentingnya menggunakan bahasa Indonesia sesuai konteks berbahasa dan selaras dengan nilai-nilai sosial masyarakat. Beliau juga menekankan perlunya memahami ragam bahasa dalam  penggunaan bahasa secara formal dan nonformal baik dalam tulisan maupun lisan. Berbahasa Indonesia yang baik dan benar,   berarti  kita berbahasa sesuai  konteksnya dan berbahasa selaras dengan nilai-nilai sosial masyarakat.

Terkait itu, pidato Jokowi soal kuliner Bipang Ambawang Kalimantan yang heboh. Idealnya penyusunan teks naskah pidato harus lebih utuh dan lengkap baik dalam tekstual, kontekstual maupun semangat  momentumnya. Isi pidato sebisanya menjelaskan pesan agar tidak menimbulkan multi tafsir dan intepretasi yang berbeda. Misalnya, kalau semangatnya ingin mengenalkan kekayaan kuliner nusantara. Narasinya disarankan lebih lengkap dan mempertimbangkan momentumnya. Kalau semangatnya bukan sekedar momen lebaran, ya harus jelas juga jika ada pesan yang lainnya. Alangkah sayangnya, niat baik presiden menjadi kontraproduktif di masyarakat. Selain itu setiap statemen atau pidato politik akan lebih baik jika memerhatikan nilai-nilai sosial masyarakat.

Berita Terkait:  Viral Anak Difabel di Kandang Kambing, Camat: Bersih dan Aman

Kedua, semakin nyata dan tak terbantahkan bahwasanya Jokowi banyak  dikelilingi oleh orang-orang yang tidak kompeten. Dari segi kapasitas dan intelektual mungkin memenuhi, namun lebih sering disorientasi. Lebih menonjol merespon masalah dengan cara “menjilat” dan ingin mengamankan jabatannya. Dalam banyak kasus termasuk kuliner Bipang ini, tidak banyak yang memberikan respon yang obyektif dan rasional. Kecenderungan orang dekat presiden sangat suka membela  membabi-buta sang majikan. Alih-alih merasionalisasi dan meneduhkan masyarakat, beberapa pejabat memilih mencari alibi dan terkesan “defensif” saat nyata-nyata ada kekeliruan pemerintah. “Keleru” kata yang enak didengar dari Jokowi.

Kita lihat bagaimana seorang jubir presiden dan TA-KSP, ada juga anggota DPR RI. Merespon kegaduhan pidato kuliner Bipang dengan sangat reaktif dan tidak substansial. Tumpang tindih dan berbeda-beda, seperti biasa pemerintah tidak pernah membangun  bahasa dan penjelasan yang sama dan sistemik diantara aparaturnya. Seperti biasa pula, masing-masing  ingin menunjukkan loyalitas dan kesetiaan semu. Padahal Jokowi benar-benar keleru dan butuh dikoreksi. Mungkin inilah orang-orang yang disebut-sebut lebih suka memainkan peran “Jongos” ketimbang memberikan jalan lurus pemikiran dan tindakan presiden. Sekelas relawan saja (Joman) mampu memberikan penilaian ada pembisik sekaligus pembusuk Jokowi di istana. Tudingan penghianatan itu langsung diarahkan ke hidung kemensekneg.

Sementara itu, di lain pihak kita patut memberikan penghormatan dan penghargaan kepada Kementerian Perdagangan terkait pidato kuliner Bipang. Lewat  Muhammad Lutfi langsung, Kementerian Perdagangan menyampaikan permohonan maaf ke publik  dan    melakukan introspeksi ke depan. Suatu respon yang positif dan berjiwa besar yang patut mendapatkan apresiasi dari rakyat dan semua kalangan. Hal seperti ini yang sulit ditemukan dalam era kepemimpinan Jokowi, terutama di lingkaran kekuasaannya. Semoga apa yang ditunjukkan Pak Lutfi bisa menjadi contoh bagi yang lain. Bahwa kekuasaan bukanlah segala-galanya.

Berita Terkait:  Viral Penemuan Bayi di Bekasi Meningkat, DP3A Berikan Respon Begini

Ketiga, salah ucap pidato dan penandatanganan produk hukum dan politik oleh presiden. Terkesan seperti hal sepele dan dianggap remeh-temeh, namun  tidak bisa dibiarkan terus-menerus. Karena kesalahan-kesalahan itu tidak semata pada persoalan teknis dan tekstual. Lebih dari itu, kesalahan itu bisa berimplikasi pada kehidupan masyarakat. Selain menyangkut kewibawaan presiden dan pemerintahan pada umumnya. Celoteh presiden saja bisa menjadi representasi rakyat, negara dan bangsa. Wajah negara dan rakyat ditentukan oleh wajah presidennya.  Ini menyangkut pengelolaan  akurasi data, konsekuensi keputusan politik  dan tentunya nasib rakyat yang  dipertaruhkan jika komitmen dan konsistensi kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam lisan dan tertulis.

Sangat mengkhawatirkan jika  diragukan dan mencla-mencle. Buat kebanyakan orang mungkin apalah sekedar kata-kata.  Tapi kita bisa merenung karya sastra kedua budayawan Pramoedya Ananta Toor dan AD Donggo yang cukilannya menginspirasi. “Lewat Lidah Kemerdekaan berawal”  dan  “Kuasanya Kerongkongan”.

Jadi, belajar dari itu. “Ayo presiden, saatnya bersih diri dan bersih-bersih lingkungan”. Jangan terlambat sampai orang dekat mendorong anda jatuh ke jurang yang lebih dalam. Jika itu terjadi, pastinya negara yang presiden pimpin ini juga akan ikut terperosok. Salam kuliner nusantara. Salam keberagaman olahan. (*)

Demi Bakti atau Ambisi
Pena Kita

Oleh Yusuf Blegur TANPA pemberlakuan syariat Islam sesegera…