Suarapena.com, JAKARTA – Dalam langkah berani yang dapat mengubah wajah diplomasi dan talenta nasional, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengusulkan pemberian kewarganegaraan ganda bagi diaspora Indonesia yang berbakat. Hal ini disampaikan Luhut pada Selasa (30/4/2024).
Inisiatif ini disambut hangat oleh Anggota Komisi I DPR RI, Christina Aryani, sebagai “angin segar” yang mendukung aspirasi dwi kewarganegaraan yang telah lama diperjuangkan.
“Pernyataan Menko Marves memberikan angin segar terhadap aspirasi dwi kewarganegaraan,” ujar Christina, Selasa (7/5/2024).
Rencana ambisius ini diharapkan dapat diwujudkan melalui revisi Undang-Undang Kewarganegaraan, yang telah menjadi bagian dari agenda Prolegnas 2019-2024.
Christina menekankan pentingnya political will pemerintah untuk mempercepat pembahasan revisi undang-undang ini di DPR.
Dengan adanya fenomena ‘brain drain’, di mana talenta berbakat Indonesia memilih untuk melepaskan kewarganegaraan mereka karena berbagai alasan, termasuk ekonomi, Christina berpendapat bahwa kewarganegaraan ganda dapat menjadi solusi strategis.
Hal ini tidak hanya akan mencegah kehilangan SDM berharga tetapi juga memungkinkan Indonesia mempertahankan koneksi dengan diaspora yang dapat berkontribusi signifikan terhadap pembangunan nasional dan pencapaian visi Indonesia Emas 2045.
Sementara, Anggota Komisi I lainnya, Fadli Zon, menyerukan peninjauan kembali terhadap ide pemberian hak kewarganegaraan ganda kepada diaspora Indonesia.
Menurutnya, konsep ini berpotensi bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
Fadli Zon mengungkapkan bahwa meskipun ide tersebut memiliki niat positif, namun harus tetap selaras dengan kerangka hukum yang ada.
“Ini bukanlah wacana baru. Sudah lama kita mendengar ide ini, dan meskipun tujuannya mungkin baik, kita harus menghormati dan mengikuti UU Nomor 12 Tahun 2006,” ujar Fadli Zon.
UU tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia (WNI) yang telah mencapai usia 18 tahun atau yang sudah menikah harus memilih satu kewarganegaraan, menegaskan prinsip kewarganegaraan tunggal.
Fadli Zon menambahkan bahwa jika pemerintah tetap ingin melanjutkan wacana ini, maka diperlukan argumentasi yang kuat dan studi komprehensif untuk memastikan tidak ada dampak negatif bagi negara.
“Kita perlu mempertimbangkan pro dan kontra secara detail, serta membandingkan dengan kebijakan negara lain yang memiliki populasi besar seperti India dan China, yang tidak menerapkan kewarganegaraan ganda namun memberikan akses khusus bagi diasporanya,” tuturnya. (r5/bbs)