Barat Jawa
Ia berpijak, dengan dua kaki di Kota Barat Jawa, salah satu kota yang menjadi tempatnya berteduh, bersandar, marah, bahagia, tertawa, berduka. Rumah bagi kepulangannya, Bekasi. Ia lantang memarahi pejabat dengan lagu-lagu bernada tinggi. Sebuah kemarahan yang indah terdengar dan tercipta di pinggir kali. Tahukah ? Bahwa hanya di pinggir kali orang-orang luar biasa menemukan dirinya sendiri. Begitulah kehidupan bagi saya, orang-orang luar biasa berada di jalan, dan orang orang dungulah yang duduk tenang di kursi sekolahnya, mencari materi tak henti, jabatan tak karuan, dan melepaskan kesejatiannya sebagai manusia yang memiliki arti.
Saung Pinggir Kali yang begitu mistik, tempat merenung para pemikir, tempat rebah para imaji, tempat berkarya kepala-kepala manusia. Tidak jarang karya luar biasa lahir disana, diselipkan di saku, dinyanyikan diperjalanan bersama angin dengan Tuhan sebagai audience-nya. Mempelajari arti kebersamaan, saling menjadi pejuang bagi manusia lemah di sisi-
Nya, menjadi pelengkap kebahagiaan bagi yang bersedih. Semuanya terjadi hanya di pinggir kali.
Berbagai diskusi sastra, siapa sangka di pinggir Kalimalang, seorang pengangguran habis menggerogoti buku Chairil Anwar disana, menerjemahkannya dalam kepala. Dan diam-diam bisa saja penerjemah sastra lahir disana.
Pengamen-pengamen kecil yang membicarakan karakter orang orang kota di dalam bis, angkot, sepulangnya mereka membicarakan orang-orang, mengamatinya diam diam. Mereka tahan caci, mereka tahan kerasnya jalanan, diam-diam bisa jadi Pengamat Sosial dan Psikologi lahir disana, di Pinggir Kali.