Betapa pun penegakan hukum terhadap perkara-perkara pers tidak seharusnya dilakukan secara ongebreideld (membabi buta), setidaknya, pertanggungjawaban etik yang menyentuh subjek hukum badan hukum dalam hal mewujudkan pers yang profesional, bermartabat, jujur, adil, dan beretika,mutlak diperlukan. Tanpa adanya pengaturan pertangungjawaban yang menyentuh badan hukum jangan berharap pers nasional mampu menjadi “wasit yang baik” dalam pertandingan di ajang politik “pilkada maupun pemilu mendatang”, tapi cukup saja dengan berharap pers dapat menjadi “pemain yang baik” di dalam ajang pesta demokrasi mendatang.
Bila terminologi “pemain yang baik” dapat digambarkan sebagai bentuk pertanggungjawaban yang bersifat normatif dan atributif karena pengaturannya sudah jelas dan tegas tercakup di dalam undang-undang. Maka terminologi “wasit yang baik”, untuk saat ini masih berada di dalam alam khayal (angan) atau cita-cita, karena persoalan etik normatik yang merupakan pedoman sikap standar perilaku berlandaskan kepada prinsip-prinsip kejujuran, integritas dan akuntabilitas, belum begitu nampak terlihat dan fenomena yang ada pengertian etik masih dipahami sebagai sesuatu yang sudah termanivestasi di dalam undang-undang. (*)